hope not

asya
4 min readJul 11, 2023

--

Tolong ingatkan aku untuk tidak mengucapkan selamat hari jadi untuk hubungan kita. Karena pada nyatanya, meski sudah berjalan masing-masing, masih tertanam di benakku tentang ‘kita’.

Tepat tujuh tahun sudah, hari dimana aku dan kamu berubah menjadi ‘kita’. Bukan sebuah pernyataan cinta yang mewah memang, tapi entah mengapa hari itu terasa lebih bermakna dibandingkan hari pernikahanku.

“Cewe tuh kalo diajak pacaran emang kudu ngepasin tanggal cantik dulu?”

“Hah? Apasih? Lo kesambet apaan dah sampe nanya begituan?”

“Jawab aja elah, ribet amat.”

“Lo lagian aneh banget tanya begitu ke gue? Tapi karena lo tanya ke gue ya ini menurut gue sih, Sa. Gue pribadi ngga gitu, karena menurut gue semua tanggal ya sama aja ga sih? Kayak, kalo ada yang mau ngajak gue pacaran sekarang juga ayo. Justru setelah kita pacaran, menurut gur tanggal itu baru cantik. Eh, bukan cantik sih, lebih ke spesial gitu? Kayak tanggal lahir kita.”

“Ini gue diterima sama lo, Va?”

“Hah?”

“Pacaran sama gue, yuk?”

“Mahesa, please banget. Gue tau lo lagi pusing-pusingnya ngerjain laprak, tapi ya ngga usah ngawur juga lah.”

“Gue serius, Lavanya.”

“Serius ngibulnya?”

“Gue serius sayang sama lo. Udah hampir setahun kita kenal deket, Va. Selama itu juga gue ngerasa seneng buat berbagi cerita keluh kesah gue ke lo, gitu juga sebaliknya. Gue seneng kalo lo pusing nugas terus cerita ke gue. Agak klise, tapi gue beneran nyaman sama lo, Lavanya. Buat sekarang, besok, lusa, dan seterusnya boleh ngga gue selalu ada di deket lo? Bukan sekedar temen doang kayak sekarang, Va. Boleh ngga gue jadi pacar lo?”

“Sa…”

“Setahun bukan waktu yang singkat, Va. Gue tau, mungkin buat lo ini kayak tiba-tiba banget gue kayak gini. Tapi, Va, gue udah cape buat mendem perasaan ini. Mungkin kesannya maksa banget, tapi gue minta lo secepatnya jawab ya, Va? Ngga harus hari ini, tapi jawabnya antara iya dan ngga, oke?”

“Oke… Anyway, thank you karena lo udah jujur sama perasaan lo sendiri. Makasih juga karena lo udah sayang sama gue. Lo emang ngga minta gue buat jelasin perasaan gue sih, tapi karena lo udah jujur tentang perasaan lo jadi kayaknya gue harus jujur juga tentang perasaan gue. Honestly, I have the same feeling as you, Sa. Lately, I’ve think a lot about ‘us’. Kayak, lo suka sama gue juga ngga sih? Ngga munafik, gue ngerasa perlakuan lo ke gue tuh beda sama perlakuan lo ke temen-temen cewe lo. Tapi gue bingung banget, Sa. Somehow you put me as your priority, tapi kadang biasa aja. Jadi kayak tarik ulur doang. Selain itu, lo tuh jugaterkenal banget, banyak yang naksir sama lo, Sa. Gue jujur jadi insecure sendiri, pantes ngga sih gue suka sama lo? Dan buat tawaran pacaran sama lo, gue jujur bingung, Sa. Gue masih ngerasa belom pantes aja buat berdampingan sama lo.”

“Apa yang lo insecure-in, Va? Lo cantik, pinter, social butterfly, kebanggaan anak FISIP. Kalo lo masih ragu, boleh gue yakinin lo, ya?”

“Gimana cara lo yakinin gue?”

“Terima gue jadi pacar lo.”

Mengapa saat mencoba melupakanmu, aku menjadi semakin terjebak dalam masa lalu ‘kita’?

Lavanya, aku harap kamu mengerti ini — karena kamu adalah orang yang paling mengerti aku, dulu. Aku harap kamu bisa mengerti perasaanku dan sudah memaafkanku, ya?

Kata ‘maaf’ yang terucap dariku mungkin terkesan sangat tidak pantas untuk diucapkan kepada wanita sepertimu, Va. Namun, aku juga tidak tau harus bagaimana, selain meminta maaf, untuk mengurangi rasa bersalahku kepadamu.

Tetapi, Lavanya, semenjak kehadiranmu malam itu — malam dimana aku, kamu, dan istriku berbincang mengenai ‘kita’ — , aku sedikit bisa menerima bahwa ‘kita’ sudah menjadi aku dan kamu. Sedikit aku mengerti bahwa nyatanya hanya diriku saja yang masih terjebak di dalam ‘kita’. Perasaanku? Tentu saja sedih, menyadari bahwa aku yang menyakitimu malah aku yang terjebak antara masa lalu kamu dan aku. Tetapi, ketahuilah, aku bangga dan bahagia melihat Lavanya Auristela — yang sempat ku miliki dahulu — kini sudah berkembang menjadi sosok wanita mandiri, sama seperti yang kamu impikan dahulu, Lavanya.

Setelah kedatanganmu ke rumahku kala itu, aku akui itu telah mengganggu pikiranku. Malam itu aku terjaga hingga pukul dua dini hari. Sunyi malam itu menjadi sangat berisik di kepalaku, dan lagi-lagi itu karenamu, Lavanya.

Rasanya aku ingin mengucapkan banyak kata terima kasih kepadamu, Lavanya. Terima kasih karena kamu sudah mau memaafkanku, terima kasih kamu masih tetap mau menerima dan menganggapku sebagai salah satu temanmu.

Aku juga berterima kasih banyak, karena kamu, aku tersadar, bahwa pada akhirnya ‘kita’ sudah tidak berdampingan lagi — sudah berpisah menjadi aku dan kamu. Nyatanya, kita tidak bisa melawan takdir yang sudah Tuhan berikan untuk aku dan kamu.

Seperti yang kamu bilang malam itu, “daripada kamu kesusahan buat ngelupain aku, kenapa ngga kamu menambah rasa sayangmu ke Kamila aja, Sa? Toh, kalo kamu terus-terusan nyoba buat lebih mencintai dan lebih sayang ke Kamila, nantinya juga perasaanmu ke aku bisa pudar, percaya deh sama aku.” Maka, untuk sekarang dan seterusnya aku tidak akan berusaha untuk melupakanmu lagi, tapi, aku akan berusaha untuk lebih mencintai dan menyayangi keluarga kecilku.

Lavanya, semoga kamu dipertemukan oleh lelaki yang bertanggung jawab dan tidak kalah baik daripada dirimu.

Lavanya, aku harap kamu selalu berada dalam perlindungan Tuhan. Orang sebaik kamu harus dikelilingi oleh orang baik juga, kan?

Lavanya, aku sangat berharap selama ini kamu sudah benar-benar bahagia.

Lavanya, aku mohon, kejar bahagiamu. Karena sekarang aku sudah menemukan bahagiaku, maka kamu juga harus menemukan bahagiamu, bukan?

--

--

asya
asya

No responses yet